Jumat, 04 November 2011

Cerpen "Sahabat Telah Pergi"

Pagi itu, sekolah telah diramaikan banyak siswa.Seseorang dengan langkah lunglai, memasuki ruang kelas 10-4 di SMA Bakti Husada Jakarta. Dia adalah Nadia. Gadis cantik, pintar, tetapi hanya ingin berteman dengan orang kaya dan cerdas. Ia begitu karena terpengaruh oleh sahabatnya, Andine.

"Lo kenapa Nad? Kok sedih gitu?" tanya Tami, teman sebangkunya.
"Gue,.. Mmm.. Gue bakal pindah ke Bandung." jawab Nadia masih dengan wajah yang tak bersemangat.
"Hah? Serius lo Nad? hmm, gue duduk sama siapa dong?" tanya Tami lagi. Kini ia pun terlihat tidak bersemangat.

Hari itu dilewati Nadia dengan wajah nyaris tak berekspresi. Sesampainya di rumah, ibunya menyuruh Nadia berganti pakaian dan makan siang.

"Habis ini, kamu beresin barang-barang kamu ya, Nak. Besok kamu ke sekolah untuk ngurus surat-surat pindah sekolah kamu. Setelah itu, kita langsung berangkat ke Bandung." jelas ibunya.
"Tapi bu, apa nggak terlalu cepat?" tanya Nadia kemudian.
"Nggak sayang. Kerjaan ayahmu juga nggak bisa ditunda." jawab ibunya.

Setelah makan siang, Nadia pun membereskan barang-barangnya. Buku-bukunya dimasukkan ke dalam kardus, pakaiannya dimasukkan ke dalam koper. Kurang lebih 3 jam kemudian, barang-barangnya telah siap di bawa ke Bandung.

Keesokan harinya, Nadia pergi ke sekolah bersama ayahnya untuk mengurus sekolah Nadia. Nadia pun dihampiri oleh Andine.
"Nad, lo kok pindah sih?" tanya Andine.
"Ayah gue dipindahtugaskan. Jadi, gue harus ikut." jawab Nadia
"Mmm.. Gue kehilangan sahabat gue dong." ujar Andine.
"Kita masih bisa berhubungan lewat telepon. Asal, lo masih mau inget gue." kata Nadia.
"Gue pasti bakal inget lo dan persahabatan kita. Gue janji." ucap Andine.

Dari sekolah, Nadia dan ayahnya kembali ke rumah. Lalu, langsung berangkat ke Bandung. Nadia dengan berat hati meninggalkan Jakarta dan seluruh kenangannya. Setelah sampai di Bandung, Nadia pun merapikan barang-barangnya.

Dua hari kemudian, Nadia sudah mulai bersekolah di SMA Pertiwi Bandung. Di sekolah barunya ini, Nadia menemukan sesuatu yang berbeda dari sekolah lamanya. Di sini, teman-temannya saling berbaur, tidak memandang kaya atau miskin, dan pintar atau bodoh. Lalu, seminggu kemudian, Nadia menelepon Tami, teman sebangkunya dulu. Sebelumnya ia telah mencoba menghubungi Andine, tetapi tidak diangkat. Dari Tami, Nadia mendapat pernyataan mengejutkan tentang Andine. Setelah Nadia pindah ke Bandung, setiap Tami mengatakan sesuatu tentang Nadia, Tami tak peduli. Ia malah menyuruh Tami tutup mulut, seakan Nadia tidak pernah ada di dalam hidupnya. Nadia sedih mendengarnya, Ia kecewa kepada Andine. Dengan mudah ia melupakan Nadia, setelah ia berjanji tidak akan pernah melupakan Nadia.

Senin pagi itu, ketika Nadia melangkahkan kaki di koridor sekolahnya, ia bertekad. Walau Andine telah melupakannya, ia tak akan pernah melupakan Andine. Nadia ingin berteman dengan tidak memandang kaya atau miskin dan pintar atau bodohnya seseorang. Karena kini ia mengerti, sesungguhnya teman sejati itu adalah teman yang berdasarkan dari ketulusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar